Ukhti... yang tengah di tenggara sabit
Aku menangkap sendu diwajahmu
Ada apa?
Sedari tadi aku melahirkan gelisah untukmu
Semoga saja kesetiaanmu kepada Ilah adalah jalan indah dari sekian masalah
Aku merindukan rinai tawamu


***

Calm down beib
I hope, u get solution about it “u’r personal problem”
keep our friendship always

:: teruntuk sahabatku
Aku merindukan rianai tawamu
^_^


aku bersyukur jika Tuhan mempertemukanku dengan pagi, senja, bukit, pelangi, hujan dan sahabat alam lainnya mereka hening, bening, tak mencekam dari kehidupan kotor dunia ini..
aku merasakan eufoni kalian sahabat



Seribu Celotehku tentang Kemanusiaan

Dabih menampung darah
pikirnya selalu berfantasi akan uang
tidak lain urusannya dengan isi perut
ini semua karena liciknya si kaya
hei.. kaum papa siap-siap kau mati berdiri
menunggu masa suram dari negeri ini
ketidakjelasan takdirmu menanti
kau lupa?
jujur barang mahal di negeri ini
sekali lagi urusannya dengan moral
dalam gradasi sebuah kebobrokan

***
kalau saja tubuhku direjang lalu mata bugil ini menyaksikannya
sungguh gusti aku tak sanggup
andai saja ia aku?
merendah penuh harapan sambil menggandar beban sampai terompahnya hancur beradu aspal, mengitari jalan tak berarah namun dengan satu tujuan
sekali lagi uang
belum lagi harus bergelut dengan panasnya mayapada, menengadah matahari menentang teriknya
jika saja keringatnya dihargai mungkin hanya beberapa lembar rupiah saja
merisau diri untuk anak dan isterinya dirumah
“kue.. kue..”
“ting.. ting.. es.. es..”
“sol sepatu..”
belum lagi pemulung dan teman-temannya
masih banyak suara-suara iba yang harus kudengar
mereka korban pembesar-pembesar negeri ini, manusia yang terbelenggu oleh indrainya dan tidak lagi ingat pada hakikatnya
oh Tuan
adakah yang salah dengan rakyatmu?
Hidup tak ubahnya bangsa miskin yang memelas


faalku

dipatri mati momentum masa
belah, pecah, cedera
barang berserambi dan berbilik dalam atrium

malu

terejawantah perangai buruk
begitupun fadhiat

dan

izinkan aku menjadi peranti
terhadap salahku


aku salah


Aku sudah mati
Untuk para “SETAN”

(Syair : Anant)

Jangan pikat aku
Jauh.. jauh.. jauh.. menyingkir jauh-jauh dariku
Pembakar nafsu penipu belaka

Aku sudah mati
Atas nikmatnya dunia
Atas semua yang sementara

Aku sudah mati

Jangan pikat aku
Akan sia-sia saja




PROLOG
Hei., nona.. tuan.. Barang kali besok nyawa kita sudah hilang
meninggalkan orang-orang yang kita kasihi utama si ibu dan bapak
Sementara hari ini kita masih asyik dengan rasa cinta atas dunia
Yang tak lepas dari kehidupan glamour, hedonis, atau asyik dengan teman lawan jenis


MONOLOG DRAMATIK
Ah., nanti lah waktu ku masih panjang
Aku sibuk

Lalu,.

Takdinyana aku sudah pada antrian kematian
Duduk dijajaran paling muka
Dan
Masuk dalam liang kubur beraroma busuk
Mengundang jasadku terperangkap masuk
Kulihat tubuhku diseret dengan kejam
Neraka tempat kembaliku
Didepanku menunggu jurang lebar yang menganga
Dipenuhi dengan batu-batu api yang menyala-nyala
Siraman timah panas dan minuman berair nanah
Itulah aku kini berada dalam tempat hina


Allah Swt. Berfirman
Ketahuilah! Apabila aku mencintai seorang hamba, maka aku akan menjauhkan dunia dari dirinya dan aku akan menggiatkan dia dalam amal-amal keakheratan. Aku akan memperlihatkan cacat dunia kepadanya, sehingga ia berhati-hati dan dengan rahmatku dia akan melakukan amal penghuni surga.

Apabila aku murka pada seorang hamba, maka aku memberi kesibukan urusan dunia yang membuat ia lupa kepadaku dan aku meggiatkan dia dalam amal keduniawian. Maka ia akan termasuk dalam kelompok penghuni neraka. Karena itu, aku akan memasukan dia kedalam api neraka. (al-ayat)

SEBAIKNYA
Mulai dari sekarang kita memperbaiki diri
Jangan pernah putus asa
Karena perubahan itu akan terjadi berangsur-angsur
Kalian akan banyak menghadapi rintangan yang melemahkan semangat maka jangan sampai ia menguasaimu




Bagi kami selalu semangat menolong agama Allah

ALLAHU AKBAR!!!!





Rumput Teki (Cyprus Rotundus)

Padanan cokelat tanah dan bening udara
Dalam atmosfer bersuhu rendah
Pertentangan dengan daerah khatulistiwa nan panas
Rumput teki tumbuh

Kala posisi mentari 6 derajat dibawah ufuk
Rumput teki terselimuti embun
Lalu jatuh satu titik embun itu
Teramat cantik sungguh

Rumput teki hidup dalam sela-sela jajaran sabana nan luas
Hampir terlupa jika kita mengindahkan perdu

Rumput teki
Walau spectrum klorofilmu biasa
namun mampu menari saat semilir angin bersua
Mengalun bersama sahabat alam lainnya
Sesekali bermain cantik dengan serangga bersayap lebar

ku lihat rumput teki manyapaku
dihulu menuju jalan indah
tersenyum aku membalasnya

rumput teki hari ini
sahabat alam yang terindahkan

Sagalaherang
27.01.10



Nazala Qisti Lira Hakim

Terbit dari hati yang suci
Selepas senja
Demikian ia manis
Anak adam itu
Langsat layaknya kulit duku
Kian elok dengan balutan kain diatas kepala
Cindai pun begitu adanya
Subhanallah
Tak cacat satupun
Terkawal oleh juz-juz Qur’an
Seharusnya Hafiziani
Tak ada celah sedikitpun hal keduniaan
Walaupun kehilapan itu ada
Qisti hanya insan biasa
Bukan makhluk bersayap terpancar nur
Yah.. Qisti dipanggil adanya

Aku terkagum
Pikirku berfantasi sembari tersenyum
Siluet Qisti tepat diatas kepalaku
Subhanallah



Ironi Dramatik

Kenangan busuk dua tahun yang lalu
Waktu yang bertalian dalam jalan bebas hambatan
Ironis
Rumput teki terlihat semeraut
Begitupun oksigen terasa sesak bak gas beracun
Terengah engah
Lalu membentuk danau disekitaran kelopak mata
Sesekali lirikan tajam membusur kearahku
Tak mengerti
Pura-pura tak tau atau sekedar iba
Skema pikirku berantakan
Rasanya ingin cepat berakhir
Kembali keperistirahatanku
Hening, bening, tak mencekam

Berkas itu
Kacau
Kerap kali aku mengingatnya
Jalan menuju kebusukan
Kebusukan dalam lintasanku kini



TAK SEJAJAR

Aku bukan ukuran yang kau inginkan
Cantik
Hedonis
Glamour
Aku wanita biasa yang tak layak sejajar dengan kaum elite sepertimu
Aku merasa ngeri kalau-kalau mulut manismu itu menyemburkan kata nista untukku
Owh,, nona barangkali dirimu teramat sangat bangga menikmati tetes keringat orang tuamu, tapi tidak denganku cukup kesederhanaan itu saja
Memang, aku hanya gadis kampung tapi ingat nona otakku tidak kampungan

Aku yakin dirimu merasa jijik denganku
Terlalu jauh dengan kemolekan tubuhmu
Ah,, biasa bagiku sebab yang kutahu kemolekanmu itu hasil dari mengakali kedua orang tuamu
Tak merasa iba sama sekalikah dirimu terhadapnya????
Sekali lagi hubungannya dengan materi nona!! utama pengorbanan

Barang sedikitpun aku tak bisa dan tak ingin sepertimu
Aku sibuk
Yah., aku terlalu sibuk dengan investasiku
Investasi yang menggunung sudah
Investasi dosa yang telah kutitipkan pada malaikat disamping kiriku

Aku engkau pandang hina
Aku engkau rasa munafik
Aku engkau pikir sampah
Aku engkau…
Ah., sudahlah nona tak akan pernah bertepi
Dan tak pernah sejajar pula aku engkau
Barang kali hatimu seperti belerang yang berbau busuk
Entah itu apa itulah skema pikirku


Beda Perlintasan

Sedari kecil Tini belum sadar dan malu melihat kedua orang tuanya seorang pribumi asli dan terlalu awam dengan rentetan alfabetis. Malu.. malu.. dan malu selalu itu yang dia rasa, berbeda dengan orang tua teman-temannya “kenapa orang tuaku tidak seperti mereka?” cetus Tini tak menerima keadaan.

Profesi ibunya hanya di gubuk sederhana yang tiap hari mata si ibu selalu berkaca-kaca karena kepulan asap dapur dan seorang yang buta huruf. Sedangkan bapaknya sudah aus dan usang, maklum saja terik mentari sudah menjadi teman akrabnya di sawah, yah.. itu saja garapan milik tuan tanah.

Menaruh harapan besar pada anaknya itu

“nak, besar nanti jangan seperti bapak cukup orang tuamu yang susah”
“Ya” ketus jawab tini sambil melengos

Tini adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, kakak pertamanya hanya lulusan SD berprofesi menjadi babu. Masih miskin kala itu kedua orang tua Tini sekitar tahun 70’an sementara Tini belum lahir. Yah.. hanya tamat SD itu saja penuh pengorbanan “beginilah keadaan kita terpenting dirimu bisa mengenal huruf, sekali lagi tidak seperti bapak” kata si bapak pasrah dengan keadaan terbatas

Kala itu orang-orang pribumi berpikir dangkal, anak gadis cukup bergelut dengan dapur, kasur, dan sumur.

*****

Entah mengapa orang-orang pribumi begitu mengeramatkan hal-hal gaib dan sekutu roh leluhur (syirik) begitu halnya mendewakan keberuntungan utama ibu Tini. Perkara itulah yang terjadi pada kakak kedua Tini anak laki-laki satu-satunya dikeluarga Pak Jaya.

Perlahan Pak Jaya bangkit dari kesederhanaannya karena pandangan hidup yang khas dari seorang Pak Jaya, tak mau berpangku tangan bekerja entah itu apa yang penting halal. Berangkat dari ekonomi pas-pasan lalu jelang kenyataan, dari comberan waktu mengais-ngais rejeki penuh pengorbanan Pak Jaya menjadi juragan. Yah.. juragan kecil dari situlah isi otaknya dipengaruhi oleh anggapan keberuntungan. Keberuntungan terhadap anak laki-lakinya itu, entah mengapa mereka selalu meluluskan permintaan anaknya itu.

8 tahun kemudian lahirlah Tini , mungkinkah dia anak yang tak pernah diharapkan hadir oleh keadaan? Lagi-lagi karena kepercayaan yang berlebihan terhadap keberuntungan, menganggap Tini anak yang bernasib tak mujur tanpa berpikir rasional begitulah kata ibunya “dasar anak tak tau diuntung” Tersentak pikiran Tini. Sungguh malang anak sekecil Tini mendengar kata-kata itu pasalnya sejak Tini mengenyam bangku sekolah, ladang usaha bapaknya itu agak berkurang sedikit, lain halnya dengan abangnya ketika kecil. Tapi tidak dengan Pak Jaya walaupun kepercayaan itu tetap kuat padanya, Tini baginya harapan masa depan, kenapa? Anak laki-laki kebanggaan ibunya itu hanya lulusan mesin di STM swasta, bodoh ternyata ia pasalnya isi rapotnya itu penuh dengan barang cair berwarna merah, ancur. Tidak halnya dengan Tini anak kecil yang cakap tetapi benci dengan kedua orang tuanya

“aku beda? Apa yang salah dariku?” bertanya-tanya anak kecil itu
“aku butuh orang tua ideal yang mengerti aku, ah.. tidak mungkin” (berusaha menyadarkan diri sembari melamun)

*****

Syirik
Ritual malam senin dan jumat, wewangian khas kemenyan rutin tercium dari sebuah dupa entah itu apa tradisi leluhur mungkin, Tini masih belum mengerti, Maklum saja tata keimanan keluarga Pak Jaya teramat sangat jauh perihal agama begitulah orang pribumi pengetahuannya hanya seujung jari terlalu dangkal. Dari situlah, tak pernah sama antara perlintasan pikiran Tini dengan kedua orang tuanya.

Saat Tini bukan anak kecil lagi, yah.. dia tumbuh menjadi seorang gadis dan mulai mengerti semua hal-hal mengenai orang-orang pribumi. Semakin hari rasanya Tini seperti terpenjara dengan sebuah keadaan, Yah.. keadaan psikologis dengan kata-kata si ibu yang tak pernah absen di telinga membuat Tini semakin terbiasa dan semakin tak menyukai isi otak kedua orang tuanya sementara Tini kian memperdalam pengetahuan agama walaupun hanya segelintir, belajar dari orang lain lalu mencari jawaban atas Tuhannya tak ingin mengikuti tradisi leluhur, tak lain dan tak bukan tentang tradisi itu “inget bu! Seumur hidup saya gak akan percaya” tegas Tini kepada ibunya, sumpah serapah pun kerap terlontar sementara Pak Jaya tak peduli pertengkaran Tini dengan ibunya ia sibuk dengan ladang penghasil uangnya, bagi Pak Jaya biarlah Tini berpikir idealis walaupun sebenarnya ia berharap Tini mau meneruskan tradisi leluhur.

Tini adalah sosok pemberontak dimata keluarganya, orang lain orang tuanya bagi Tini jauh yang diharapkan begitulah pemikirannya. Sesekali orang tua Tini mengindahkannya

“nak, belajar yang rajin kelak keluarga ini bisa diperhitungkan dimata orang lain sakit jika harus melarat sebab kami pernah merasakan itu, kami sudah tua dan satu hal kami berharap kamu mau mengurusi asap dupaan itu”
Sungguh pemikiran yang idealis walaupun seorang pribumi tapi liat disisi lain suatu keadaan yang betentangan dengan perangai Tini yang seorang pemberontak

“pak.. bu.. saya bangga dengan kalian, menginginkan saya benar-benar menjadi orang yang diperhitungkan dari keluarga ini berusaha membuat kalian bangga tapi ingat satu hal! Pemikiran kita beda tentang kepercayaan, kalian itu musyrik! Seumur hidup saya gak akan percaya”
Berontak Tini menangis sembari membanting pintu lalu mengunci kamar lantaran sebuah perlintasan pemikiran yang berbeda.

Orbit waktu terus berdetak layaknya jantung yang tak pernah berhenti sementara Tini masih memenjarakan diri di kamar. Sepertinya kamar itu sudah banjir dengan Kristal air mata yang telah terejawantah akibat sebuah keadaan.

12 jam sudah Tini dengan perut kosongnya lalu si ibu mencoba merayu untuk mengganjal perutnya barangkali sedikit saja. Nampaknya si ibu tidak selalu membenci Tini dia tetap seorang ibu, yah.. tiada seorang ibu yang tidak sayang terhadap anaknya, buah mulut si ibu membuat luluh Tini untuk keluar dari kamar.

Sembab kelopak matanya, basah kuyup bajunya, sesegukan sesekali terdengar, lagi.. lagi.. karena Kristal air mata yang telah terejawantah. Awal yang dilakukan Tini ialah membasahi kerongkongan, disudut sana sepiring nasi dan saudar-saudaranya tersaji sementara si ibu terus merayu “buat apa menyiksa diri?” tanpa membahas polemik itu.

Waktu itu perasaan
Yah.. perasaan kedua orang tua Tini hilang tertutup langit seperti aurora. Perasaan menerima saat Tini tidak pernah suka terhadap tradisi leluhur. Sejalan dengan itu cita dan angan tini semakin kuat untuk menginjak bangku kuliah. Sejak kecil ia ingin menapaki dan mengajarkan ilmu yang tak peduli pada uang tapi berjuang bagi otak dan akhlak bangsa ini, bangsa yang sudah ancur ulah oknum. Yah.. Tini ingin menjadi seorang guru.

Barang kali orang tua Tini sibuk dengan ladang usahanya walaupun tak menentu hasilnya, mereka sekali lagi menaruh harapan besar kepada Tini, ingin anaknya itu mengenyam bangku kuliah. Yah.. ada sedikit sisi ideal dari seorang pribumi, maklum saja pendidikan bagi sebagian orang pribumi tak penting karena pikirannya hanya uang dan kekayaan, membiarkan usia anak-anaknya dilahap mesin pabrik menjadi babu para penjajah negeri ini.

Perlahan Tini sedikit bangga dengan pemikiran orang tuanya walaupun sekali lagi kepercayaan terhadap leluhr masih ada sementara Tini sudah semakin jauh dari kepercayaan orang tuanya barang sedikitpun tak ingin menyentuh tradisi itu.

Menjelang ujian Tini tak pernah absen untuk belajar begitu juga tak mengenal waktu dari tidurnya ayam sampai kokonya terdengar, kantung mata Tini agak terlihat gelap karena tak sering tidur. Sungguh anak cakap.

Untuk pertama kalinya Tini menyimpulkan tangan denga orang tuanya. Sungguh separah itu Tini, kaget orang tuanya tak menyangka saat ia hendak bergelut dengan soal-soal ujian dan tanpa merasa berdosa ia melenggang bebas pergi begitu saja, terlalu!
Wajar Tini seperti itu sekali lagi ia menganggap orang tuanya seperti orang lain.

Bersambung…


aku

sebut saja aku batu setengah permata yang kilaunya sudah terkorosif