Beda Perlintasan

Sedari kecil Tini belum sadar dan malu melihat kedua orang tuanya seorang pribumi asli dan terlalu awam dengan rentetan alfabetis. Malu.. malu.. dan malu selalu itu yang dia rasa, berbeda dengan orang tua teman-temannya “kenapa orang tuaku tidak seperti mereka?” cetus Tini tak menerima keadaan.

Profesi ibunya hanya di gubuk sederhana yang tiap hari mata si ibu selalu berkaca-kaca karena kepulan asap dapur dan seorang yang buta huruf. Sedangkan bapaknya sudah aus dan usang, maklum saja terik mentari sudah menjadi teman akrabnya di sawah, yah.. itu saja garapan milik tuan tanah.

Menaruh harapan besar pada anaknya itu

“nak, besar nanti jangan seperti bapak cukup orang tuamu yang susah”
“Ya” ketus jawab tini sambil melengos

Tini adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, kakak pertamanya hanya lulusan SD berprofesi menjadi babu. Masih miskin kala itu kedua orang tua Tini sekitar tahun 70’an sementara Tini belum lahir. Yah.. hanya tamat SD itu saja penuh pengorbanan “beginilah keadaan kita terpenting dirimu bisa mengenal huruf, sekali lagi tidak seperti bapak” kata si bapak pasrah dengan keadaan terbatas

Kala itu orang-orang pribumi berpikir dangkal, anak gadis cukup bergelut dengan dapur, kasur, dan sumur.

*****

Entah mengapa orang-orang pribumi begitu mengeramatkan hal-hal gaib dan sekutu roh leluhur (syirik) begitu halnya mendewakan keberuntungan utama ibu Tini. Perkara itulah yang terjadi pada kakak kedua Tini anak laki-laki satu-satunya dikeluarga Pak Jaya.

Perlahan Pak Jaya bangkit dari kesederhanaannya karena pandangan hidup yang khas dari seorang Pak Jaya, tak mau berpangku tangan bekerja entah itu apa yang penting halal. Berangkat dari ekonomi pas-pasan lalu jelang kenyataan, dari comberan waktu mengais-ngais rejeki penuh pengorbanan Pak Jaya menjadi juragan. Yah.. juragan kecil dari situlah isi otaknya dipengaruhi oleh anggapan keberuntungan. Keberuntungan terhadap anak laki-lakinya itu, entah mengapa mereka selalu meluluskan permintaan anaknya itu.

8 tahun kemudian lahirlah Tini , mungkinkah dia anak yang tak pernah diharapkan hadir oleh keadaan? Lagi-lagi karena kepercayaan yang berlebihan terhadap keberuntungan, menganggap Tini anak yang bernasib tak mujur tanpa berpikir rasional begitulah kata ibunya “dasar anak tak tau diuntung” Tersentak pikiran Tini. Sungguh malang anak sekecil Tini mendengar kata-kata itu pasalnya sejak Tini mengenyam bangku sekolah, ladang usaha bapaknya itu agak berkurang sedikit, lain halnya dengan abangnya ketika kecil. Tapi tidak dengan Pak Jaya walaupun kepercayaan itu tetap kuat padanya, Tini baginya harapan masa depan, kenapa? Anak laki-laki kebanggaan ibunya itu hanya lulusan mesin di STM swasta, bodoh ternyata ia pasalnya isi rapotnya itu penuh dengan barang cair berwarna merah, ancur. Tidak halnya dengan Tini anak kecil yang cakap tetapi benci dengan kedua orang tuanya

“aku beda? Apa yang salah dariku?” bertanya-tanya anak kecil itu
“aku butuh orang tua ideal yang mengerti aku, ah.. tidak mungkin” (berusaha menyadarkan diri sembari melamun)

*****

Syirik
Ritual malam senin dan jumat, wewangian khas kemenyan rutin tercium dari sebuah dupa entah itu apa tradisi leluhur mungkin, Tini masih belum mengerti, Maklum saja tata keimanan keluarga Pak Jaya teramat sangat jauh perihal agama begitulah orang pribumi pengetahuannya hanya seujung jari terlalu dangkal. Dari situlah, tak pernah sama antara perlintasan pikiran Tini dengan kedua orang tuanya.

Saat Tini bukan anak kecil lagi, yah.. dia tumbuh menjadi seorang gadis dan mulai mengerti semua hal-hal mengenai orang-orang pribumi. Semakin hari rasanya Tini seperti terpenjara dengan sebuah keadaan, Yah.. keadaan psikologis dengan kata-kata si ibu yang tak pernah absen di telinga membuat Tini semakin terbiasa dan semakin tak menyukai isi otak kedua orang tuanya sementara Tini kian memperdalam pengetahuan agama walaupun hanya segelintir, belajar dari orang lain lalu mencari jawaban atas Tuhannya tak ingin mengikuti tradisi leluhur, tak lain dan tak bukan tentang tradisi itu “inget bu! Seumur hidup saya gak akan percaya” tegas Tini kepada ibunya, sumpah serapah pun kerap terlontar sementara Pak Jaya tak peduli pertengkaran Tini dengan ibunya ia sibuk dengan ladang penghasil uangnya, bagi Pak Jaya biarlah Tini berpikir idealis walaupun sebenarnya ia berharap Tini mau meneruskan tradisi leluhur.

Tini adalah sosok pemberontak dimata keluarganya, orang lain orang tuanya bagi Tini jauh yang diharapkan begitulah pemikirannya. Sesekali orang tua Tini mengindahkannya

“nak, belajar yang rajin kelak keluarga ini bisa diperhitungkan dimata orang lain sakit jika harus melarat sebab kami pernah merasakan itu, kami sudah tua dan satu hal kami berharap kamu mau mengurusi asap dupaan itu”
Sungguh pemikiran yang idealis walaupun seorang pribumi tapi liat disisi lain suatu keadaan yang betentangan dengan perangai Tini yang seorang pemberontak

“pak.. bu.. saya bangga dengan kalian, menginginkan saya benar-benar menjadi orang yang diperhitungkan dari keluarga ini berusaha membuat kalian bangga tapi ingat satu hal! Pemikiran kita beda tentang kepercayaan, kalian itu musyrik! Seumur hidup saya gak akan percaya”
Berontak Tini menangis sembari membanting pintu lalu mengunci kamar lantaran sebuah perlintasan pemikiran yang berbeda.

Orbit waktu terus berdetak layaknya jantung yang tak pernah berhenti sementara Tini masih memenjarakan diri di kamar. Sepertinya kamar itu sudah banjir dengan Kristal air mata yang telah terejawantah akibat sebuah keadaan.

12 jam sudah Tini dengan perut kosongnya lalu si ibu mencoba merayu untuk mengganjal perutnya barangkali sedikit saja. Nampaknya si ibu tidak selalu membenci Tini dia tetap seorang ibu, yah.. tiada seorang ibu yang tidak sayang terhadap anaknya, buah mulut si ibu membuat luluh Tini untuk keluar dari kamar.

Sembab kelopak matanya, basah kuyup bajunya, sesegukan sesekali terdengar, lagi.. lagi.. karena Kristal air mata yang telah terejawantah. Awal yang dilakukan Tini ialah membasahi kerongkongan, disudut sana sepiring nasi dan saudar-saudaranya tersaji sementara si ibu terus merayu “buat apa menyiksa diri?” tanpa membahas polemik itu.

Waktu itu perasaan
Yah.. perasaan kedua orang tua Tini hilang tertutup langit seperti aurora. Perasaan menerima saat Tini tidak pernah suka terhadap tradisi leluhur. Sejalan dengan itu cita dan angan tini semakin kuat untuk menginjak bangku kuliah. Sejak kecil ia ingin menapaki dan mengajarkan ilmu yang tak peduli pada uang tapi berjuang bagi otak dan akhlak bangsa ini, bangsa yang sudah ancur ulah oknum. Yah.. Tini ingin menjadi seorang guru.

Barang kali orang tua Tini sibuk dengan ladang usahanya walaupun tak menentu hasilnya, mereka sekali lagi menaruh harapan besar kepada Tini, ingin anaknya itu mengenyam bangku kuliah. Yah.. ada sedikit sisi ideal dari seorang pribumi, maklum saja pendidikan bagi sebagian orang pribumi tak penting karena pikirannya hanya uang dan kekayaan, membiarkan usia anak-anaknya dilahap mesin pabrik menjadi babu para penjajah negeri ini.

Perlahan Tini sedikit bangga dengan pemikiran orang tuanya walaupun sekali lagi kepercayaan terhadap leluhr masih ada sementara Tini sudah semakin jauh dari kepercayaan orang tuanya barang sedikitpun tak ingin menyentuh tradisi itu.

Menjelang ujian Tini tak pernah absen untuk belajar begitu juga tak mengenal waktu dari tidurnya ayam sampai kokonya terdengar, kantung mata Tini agak terlihat gelap karena tak sering tidur. Sungguh anak cakap.

Untuk pertama kalinya Tini menyimpulkan tangan denga orang tuanya. Sungguh separah itu Tini, kaget orang tuanya tak menyangka saat ia hendak bergelut dengan soal-soal ujian dan tanpa merasa berdosa ia melenggang bebas pergi begitu saja, terlalu!
Wajar Tini seperti itu sekali lagi ia menganggap orang tuanya seperti orang lain.

Bersambung…


This entry was posted on 23:30 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

    Fatmah Hasan mengatakan...
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  1. ... on 28 Juni 2015 pukul 14.54